Dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terutama pada skema Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK), salah satu indikator penting yang sering luput dari perhatian adalah rasio rujukan non-spesialistik. Padahal, indikator ini memiliki dampak signifikan terhadap besaran kapitasi yang diterima Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), seperti klinik dan praktik dokter mandiri.
Rujukan non-spesialistik terjadi ketika FKTP merujuk pasien ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) untuk kasus-kasus yang sebenarnya bisa ditangani di tingkat primer. Hal ini mencerminkan rendahnya pemanfaatan kompetensi pelayanan di tingkat FKTP, dan berdampak negatif terhadap efisiensi serta nilai kapitasi yang diperoleh.
Artikel ini akan membahas secara mendalam apa itu rasio rujukan non-spesialistik, dampaknya terhadap FKTP, serta strategi mengendalikan rasio rujukan non spesialistik agar kapitasi maksimal. Artikel ini juga mengacu pada kebijakan BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan, agar FKTP dapat lebih memahami dan menerapkan langkah-langkah yang tepat.
Apa Itu Rasio Rujukan Non-Spesialistik?
Rujukan non-spesialistik adalah rujukan dari FKTP ke FKTL untuk kondisi kesehatan yang termasuk dalam kompetensi layanan tingkat primer, namun tetap dirujuk karena berbagai alasan, seperti keterbatasan SDM, sarana, atau ketidakyakinan klinis dari tenaga kesehatan.
Rasio rujukan non-spesialistik adalah rasio jumlah rujukan kasus non-spesialistik dibandingkan dengan total rujukan yang dilakukan oleh FKTP. Dalam program KBK, rasio ini dijadikan sebagai salah satu indikator utama kendali mutu dan kendali biaya yang berpengaruh langsung pada pembayaran dana kapitasi.
Mengapa Rasio Ini Harus Dikendalikan?
Tingginya rasio rujukan non-spesialistik mengindikasikan inefektivitas layanan di tingkat FKTP. Akibatnya:
- Penurunan nilai kapitasi berbasis kinerja karena FKTP dianggap tidak optimal menjalankan perannya sebagai ‘koordinator’, di mana FKTP diharapkan dapat mengoptimalkan komunikasi dan kerja sama antar FKTP dengan FRKTL sehingga rujukan dan rujuk balik dapat terkontrol.
- Pemborosan biaya kesehatan, karena kasus ringan ditangani di FKTL dengan biaya lebih besar.
- Penumpukan pasien di rumah sakit, yang berujung pada keterlambatan layanan bagi kasus yang benar-benar membutuhkan penanganan lanjutan.
- Menurunnya kepercayaan pasien terhadap FKTP, karena dianggap tidak mampu menangani masalah kesehatan dasar yang sesuai dengan kompetensinya.
BPJS Kesehatan menargetkan rasio rujukan non-spesialistik tidak lebih dari 2% (rating 4) dari total keseluruhan rujukan yang diterbitkan per bulan, dengan bobot penilaian yang paling tinggi di antara indikator KBK lainnya yakni sebesar 50%. Oleh karena itu, pengendalian rasio ini menjadi krusial agar FKTP tetap mendapat insentif maksimal dari skema kapitasi berbasis kinerja.
Strategi Mengendalikan Rasio Rujukan Non Spesialistik agar Kapitasi Maksimal
FKTP memegang peran strategis dalam membatasi rujukan yang tidak sesuai indikasi medis. Berikut adalah beberapa strategi yang terbukti efektif dalam mengendalikan rasio rujukan non-spesialistik:
1. Peningkatan Kapasitas dan Kompetensi Tenaga Medis di FKTP
Banyak rujukan non-spesialistik terjadi karena dokter umum tidak yakin dengan diagnosis atau penanganan lanjutan suatu kasus. Solusi utama dari masalah ini adalah dengan:
- Pelatihan klinis berkala untuk meningkatkan keterampilan dokter dalam penanganan penyakit sesuai kompetensi 4A, 3B, 3A terpilih, dan 2 (pertimbangan prevalensi di Indonesia dan/atau termasuk ke dalam program nasional).
- Mentoring oleh dokter senior atau spesialis untuk kasus-kasus borderline melalui skema koordinasi dengan rekanan/jejaring FKRTL.
- Penggunaan Clinical Decision Support System (CDSS) yang terintegrasi dalam sistem EMR klinik.
Dengan kapasitas tenaga medis yang mumpuni, FKTP bisa menangani lebih banyak kasus tanpa harus merujuk, sehingga mengurangi beban FKTL dan meningkatkan skor kapitasi.
2. Optimalisasi Sarana dan Prasarana Klinik
Keterbatasan alat medis sederhana bisa menjadi alasan utama rujukan non-spesialistik. Padahal banyak kasus hanya membutuhkan:
- Pemeriksaan laboratorium dasar (misal: darah lengkap, urine rutin, kolesterol, asam urat)
- Elektrokardiogram (EKG)
- Nebulizer untuk penanganan PPOK atau asma ringan
- USG dasar untuk kehamilan atau keluhan perut ringan
Investasi pada alat-alat dasar ini tergolong ringan jika dibandingkan dengan potensi peningkatan insentif kapitasi yang bisa diperoleh FKTP. Pemerintah dan BPJS Kesehatan juga mendorong penguatan fasilitas FKTP melalui Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan hibah alat kesehatan.
3. Penerapan Sistem Kendali Mutu dan Kendali Biaya (KMKB)
KMKB adalah pendekatan sistemik untuk memastikan setiap rujukan yang dilakukan oleh FKTP benar-benar rasional dan sesuai dengan indikasi medis. Implementasinya dapat mencakup:
- Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk pengambilan keputusan rujukan
- Audit internal rujukan secara rutin
- Evaluasi dan feedback bulanan kepada dokter dan manajemen klinik
- Pemanfaatan sistem informasi klinik untuk monitoring rasio rujukan secara real-time
Dengan penerapan KMKB, klinik tidak hanya fokus pada jumlah layanan, tetapi juga kualitas dan efisiensi pelayanan. Sistem ini sangat efektif dalam menekan rujukan non-spesialistik dan meningkatkan skor kapitasi.
Pemanfaatan Sistem EMR Terintegrasi sebagai Alat Monitoring Rasio Rujukan
Penggunaan Electronic Medical Records (EMR) bukan hanya alat dokumentasi medis, tetapi juga menjadi instrumen penting dalam pengendalian rasio rujukan. Beberapa fitur utama yang mendukung pengendalian rujukan:
- Dashboard monitoring kinerja klinik, termasuk tren rujukan per dokter
- Integrasi dengan sistem SATUSEHAT dan BPJS, untuk memastikan data valid dan real-time
- Template pengambilan keputusan klinis, yang membantu dokter dalam menetapkan apakah pasien perlu dirujuk atau cukup ditangani di FKTP berdasarkan Panduan Praktik Klinis (PPK) Kementerian Kesehatan.
Salah satu sistem EMR yang sudah mendukung integrasi ini adalah Medeva, yang menyediakan fitur pemantauan indikator KBK seperti rasio rujukan, angka kontak, dan kunjungan sehat.
Dengan sistem digital seperti ini, klinik bisa mengakses data kapan saja dan langsung bertindak, misalnya jika ada dokter yang rasio rujukannya di atas rata-rata. Hal ini memungkinkan intervensi cepat dan berbasis data, bukan hanya asumsi.
Kolaborasi dengan BPJS dan Puskesmas dalam Edukasi dan Evaluasi
FKTP tidak dapat berjalan sendiri dalam mengendalikan rasio rujukan. Kolaborasi dengan BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan, dan Puskesmas setempat menjadi kunci sukses.
Beberapa bentuk kolaborasi yang bisa dilakukan:
- Pelatihan terpadu bersama BPJS mengenai diagnosis dan penanganan penyakit primer
- Diskusi rutin antara FKTP dan FKTL untuk klarifikasi jenis rujukan yang tidak diterima
- Pendampingan dari Dinas Kesehatan atau Puskesmas Pembina, terutama bagi FKTP baru atau yang belum memiliki sistem rujukan yang baik
Selain itu, perlu dilakukan edukasi pasien, agar mereka memahami bahwa FKTP sebenarnya mampu menangani sebagian besar penyakit umum. Banyak pasien yang masih beranggapan bahwa rumah sakit adalah tempat terbaik, meskipun untuk kasus ringan.
Studi Kasus dan Hasil Implementasi
Sebuah studi dari BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa FKTP yang berhasil menekan rasio rujukan non-spesialistik hingga di bawah 2%, rata-rata mengalami peningkatan skor kapitasi berbasis kinerja sebesar 20–30%. Beberapa faktor penentu keberhasilan adalah:
- Dukungan manajemen klinik terhadap SDM dan sarana
- Monitoring performa dan kompetensi layanan dasar dokter berbasis data
- Optimalisasi penata laksanaan penyakit berdasarkan automated Panduan Praktik Klinis (PPK) dalam penentuan perawatan pasien dan pelaksanaan rujukan vertikal
- Pelatihan klinis berkelanjutan
- Adanya sistem digital yang memudahkan analisis dan laporan rujukan
Salah satu klinik pratama di Yogyakarta yang menerapkan EMR dan program KMKB mencatat penurunan rasio rujukan non-spesialistik non-TACC dari 5% menjadi 1,5% dalam 6 bulan, yang menandakan bahwa klinik tersebut berhasil mendapatkan rating 4 untuk indikator RRNS. Klinik tersebut juga menerima tambahan kapitasi hingga Rp15 juta/bulan karena pencapaian indikator yang optimal.
Beralih ke Medeva Sekarang!
Sudah siap membawa klinik Anda ke era digital? Dengan Rekam Medis Elektronik (RME) dari Medeva, Anda dapat mengelola data pasien dengan lebih cepat, aman, dan efisien. Hilangkan risiko kesalahan pencatatan, tingkatkan kualitas perawatan, dan optimalkan operasional klinik Anda. Coba demo gratis selama 14 hari sekarang juga dan rasakan langsung manfaatnya! Klik di sini untuk memulai transformasi digital klinik Anda sekarang!
Sumber
- BPJS Kesehatan – Petunjuk Teknis Penilaian Kapitasi Berbasis Kinerja FKTP 2023 https://www.bpjs-kesehatan.go.id
- Kementerian Kesehatan RI – Permenkes No. 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/143095/permenkes-no-71-tahun-2013
- Laporan Evaluasi Program KBK BPJS Kesehatan 2022 https://www.bpjskesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/EvaluasiKBK2022.pdf